Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
WELLCOME IN MIFTAHUL ULUM SCHOOL- NGRAKET BALONG PONOROGO

Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Cina



Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Dalam sebuah majalah yang pernah penulis baca, dikisahkan bahwa ada seorang muballigh dari Cina berceramah di hadapan jama’ah Indonesia. Dia mengemukakan hadits ini seraya berkomentar: “Bapak-bapak, ibu-ibu, seharusnya banyak bersyukur karena bapak ibu tidak perlu repot-repot pergi ke Cina, karena orang Cina-nya sudah datang ke sini.”(!)

Sepanjang ingatan penulis pula, hadits ini tercantum dalam buku pelajaran kurikulum Madrasah Tsanawiyah pada masa penulis, entah kalau sekarang. Akan tetapi, ketika ada seorang kawan menyampaikan hadits ini sewaktu latihan ceramah, ada seorang ustadz yang menegur: “Untuk apa menuntut ilmu ke Cina? Ilmu apa yang mau dicari di sana? Ilmu dunia atau agama?”

Yang patut ditanyakan, apakah hadits yang kondang ini shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam? Inilah yang akan menjadi pembahasan kita pada edisi kali ini. Semoga bermanfaat.

Teks Hadits

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ

“Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.”

Derajat Hadits

BATIL.

Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi (2/207), Abu Nu’aim (Akhbar Ashbahan: 2/106), al-Khotib (Tarikh: 9/364 dan ar-Rihlah: 1/2), al-Baihaqi (al-Madkhol: 241, 324), Ibnu Abdil Barr (Jami’ Bayanil Ilmi: 1/7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata):
Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam). Mereka semunya menambahkan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati akan kelemahannya. Al-Bukhori Rohimahulloh berkata: “Munkarul hadits.” An-Nasa‘i Rohimahulloh berkata: “Tidak terpercaya.” Abu Hatim Rohimahulloh berkata: “Haditsnya hancur.”

Al-Marwazi Rohimahulloh bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Ibnul Jauzi Rohimahulloh mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata: Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah hlm. 63)

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 416)

Mengkritik Matan Hadits

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rohimahulloh—setelah menjelaskan lemahnya hadits ini—berkata:

“Seandainya hadits ini shohih maka ia tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri Cina dan penduduknya karena maksud hadits ini—kalaulah memang shohih—adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh (1). Alasannya, menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting karena ilmu merupakan penyebab kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadits ini adalah negeri Cina itu sendiri melainkan karena Cina adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas bagi orang yang mau memperhatikan hadits ini.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)

Tambahannya Shohih?

Adapun tambahan dalam hadits ini dengan lafazh:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Tentang tambahan di atas Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Lafazh ini diriwayatkan dalam banyak sekali jalur dari Anas Rodhiyallohu ‘anhu sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan jalur. Selain Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya seperti: Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ali. Saya sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah. Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah al-Faqr (48-62) dan saya menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)

Al-Hafizh as-Suyuthi Rohimahulloh juga telah mengumpulkan jalur-jalur hadits ini dalam sebuah risalah khusus, Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, yang disunting Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan dicetak oleh Dar Ammar, Yordania.

Namun, perlu kami ingatkan di sini, bahwa hadits ini memiliki tambahan yang populer padahal tidak ada asalnya yaitu lafazh “dan muslimah”.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.”

Tambahan lafazh وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak ada asalnya sedikit pun. Hal ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhowi. Beliau berkata dalam al-Maqoshid al-Hasanah (hlm. 277):

‘Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikit pun.’” (Takhrij Musykilatul Faqr hlm. 48-62)

Walaupun begitu, makna tambahan ini benar, karena perintah menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita. Syaikh Muhammad Rosyid Ridho Rohimahulloh berkata:
“Hadits menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim juga mencakup wanita dengan kesepakatan ulama Islam, sekalipun tidak ada tambahan lafazh dan muslimah. Akan tetapi, matan-nya adalah shohih dengan kesepakatan ulama.” (Huquq Nisa’ Fil Islam hlm. 18)

Semoga Alloh merahmati al-Hafizh Ibnul Jauzi tatkala berkata:

“Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama karena ilmu adalah cahaya yang menyinari. Hanya, saya memandang bahwa para wanita lebih utama dengan anjuran ini dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan menguatnya hawa nafsu pada diri mereka.” Lanjutnya: “Wanita adalah manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib atasnya menuntut ilmu agar dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan.” (Ahkam Nisa‘ hlm. 8-11)

Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi para ulama dalam bidang agama, al-Qur‘an, hadits, syair, kedokteran, dan sebagainya. (Lihat kisah-kisah mereka dalam kitab Huquq Mar‘ah kar. Dr. Nawwal binti Abdulloh hlm. 285-293, ’Inayah Nisa‘ Bil Hadits Nabawi kar. Syaikh Masyhur Hasan Salman)

Hadits-Hadits Lemah Tentang Ilmu

Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim. Namun, bukanlah hal itu berarti kita menganjurkan mereka dan memompa semangat mereka dengan hadits-hadits dusta yang disandarkan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia seperti yang dilakukan oleh banyak penceramah dan penulis. Misalnya hadits:

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

“Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.”

TIDAK ADA ASALNYA. Demikianlah yang ditegaskan Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz. (Lihat Ahadits Mardudah kar. Sa’id bin Sholih al-Ghomidi hlm. 12)
Juga:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

“Barang siapa yang menghendaki dunia maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki dunia dan akhirat maka hendaknya dia berilmu.”

TIDAK ADA ASALNYA. Yang benar ini adalah ucapan Imam asy-Syafi’i bukan ucapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan masih banyak lagi hadits lemah lainnya yang sering dibawakan untuk menganjurkan manusia agar bersemangat menuntut ilmu (2). Sekali lagi, kita tidak butuh kepada hadits-hadits lemah. Cukuplah bagi kita dalil-dalil dari al-Qur‘an, hadits yang shohih, dan ucapan para ulama. (Lihat kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi kar. Imam Ibnu Abdil Barr dan Miftah Dar Sa’adah kar. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah)

Penutup
Pembicaraan tentang ilmu panjang sekali. Namun, satu poin penting yang ingin kami tekankan di sini, bahwa banyak para penulis dan penceramah tatkala membawakan dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits—baik yang shohih maupun tidak shohih—tentang menuntut ilmu mereka memaksudkannya untuk ilmu dunia. Hal itu adalah suatu kesalahan, karena setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil tersebut maksudnya adalah ilmu agama, ilmu tentang al-Qur‘an dan sunnah(3). Kita memang tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya tetapi ilmu-ilmu duniawi itu bukanlah yang dimaksudkan dalam dalil-dalil tersebut. Hukumnya (ilmu-ilmu duniawi itu) tergantung pada tujuannya. Apabila ilmu-ilmu duniawi tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek. Perhatikanlah hal ini baik-baik, semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu(4) .

__________________________________________________
(1) Oleh karenanya, rihlah (melakukan perjalanan jauh) untuk menuntut ilmu adalah kebiasaan para ulama salaf (dahulu) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang menempuh perjalanan berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadits. Kisah-kisah tentang mereka begitu banyak yang sebagiannya telah dikumpulkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam kitabnya, ar-Rihlah li Tholib Hadits. Cukuplah sebagai contoh, perjalanan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk menemui Nabi Khidhir ‘Alaihissalam dalam rangka menuntut ilmu yang disebutkan oleh Alloh dalam Surat al-Kahfi. Wallohu A’lam.

(2) Lihat buku karangan penulis, Hadits-Hadits Dho’if Populer, hlm. 53-61 cet. Media Tarbiyah, Bogor.

(3) Al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali Rohimahulloh berkata: “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari al-Qur‘an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Demikian pula dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan sebagainya.” (Fadhlu Ilmi Salaf ’Ala Ilmi Kholaf hlm. 26). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimahulloh berkata: “Maksud ilmu adalah ilmu syar’i yang mengajarkan pengetahuan tentang kewajiban seorang hamba dalam ibadah dan mu’amalahnya.” (Fathul Bari: 1/92)

(4) Lihat Kitabul Ilmi kar. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin hlm. 13-14.

0 komentar:

Posting Komentar